Sabtu, 16 Oktober 2010

tugas revisi kelompok 8


DAFTAR ISI


PAPER PROFESI TUKANG SALON 1
CRITICAL REVIEW TENTANG PWK 4
PAPER PERMASALAHAN KOTA ASAL 23
LAMPIRAN 29


























PAPER PROFESI TUKANG SALON

A.Pendahuluan
Profesi tukang salon seringkali dianggap remeh oleh sebagian masyarakat. Padahal secara teknis begitu jelas terlihat bahwa memotong rambut seseorang diperlukan skill tersendiri. Dari keberadaan para tukang salon didaerah sekitar Tembalang misalnya kita dapat menemukan beberapa manfaat. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan paper ini. Didalam paper ini penulis telah membatasi masalah yang ingin diungkapkan mengenai profesi tukang salon yang hanya melingkupi manfaat keberadaan tukang salon khususnya di daerah Tembalang.

B.Manfaat keberadaan profesi tukang salon di daerah Tembalang
Dalam memotong rambut juga diperlukan beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, harus dilihat bentuk muka seseorang, jenis rambut, dan seleranya sehingga dapat dilayani secara profesional. Kadang, seorang pengguna jasa, tak bisa menentukan model potongan/cukuran rambut seperti apa yang cocok.
Di sinilah peran tukang potong rambut memberikan sedikit informasi, sehingga hasilnya memuaskan. Sebagai seorang tukang cukur, selain menguasai betul model-model potongan rambut biasa juga harus mengetahui model rambut yang sedang tren.
Adanya salon dapat memudahkan akses kita untuk menjaga penampilan dan kecantikan bagi wanita khususnya. Misalnya seperti perawatan rambut (Potong, Creambath, Toning, Vitamin), perawatan Wajah (Facial, Masker, Scrub), perawatan tubuh (Lulur, Pijat Refleksi), bahkan hingga perawatan kuku (Manicur, pedicur, dll). Tentu saja kita akan sedikit merasa kerepotan jika harus melakukan perawatan tersebut sendirian. Jadi bagi para wanita atau maahsiswa yang menyukai hal-hal praktis dalam mencapai tujuannya agar tampil lebih baik dan cantik, adanya salon dan profesi tukang salon ini sangat membantu.
Mengenai manfaat lainnya adanya salon didaerah Tembalang misalnya, itu juga sangat membantu dalam mempersiapkan penampilan pada acara-acara kegiatan kampus seperti wisuda, tentu saja mahasiswa sangat membutuhkan jasa tukang salon dalam jasa tata riasnya. Begitu pula dalam acara pernikahan para tukang salon ini akan membantu kita mewujudkan kesan yang baik dan tak terlupakan dalam momen tersebut
Bayangkan saja jika tidak ada satupun orang yang berprofesi sebagai tukang salon dan membuka usaha salon didaerah Tembalang, kita pasti harus merogok tenaga bahkan kocek yang lebih besar untuk mencapai deadline yang membutuhkan penampilan disebabkan oleh jarak yang jauh dari tujuan kita.

C.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa keberadaan profesi tukang salon juga memiliki manfaat yang cukup besar dibandingkan dengan profesi lainnya.



Foto kelompok 8 dengan tukang salon

Sumber: Analisis Sendiri



CRITICAL REVIEW TENTANG PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Akur Wicaksono
21040110141050
Kota Baru Lampung Mulai Dibangun

BANDAR LAMPUNG - Kawasan kota baru, ibu kota Provinsi Lampung, mulai dibangun di kawasan Way Hui, Kabupaten Natar, Lampung, Ahad (27/6). Pencanangan kota baru seluas 1.669 hektare ini dilakukan Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP.
Di kawasan bekas lahan perkebunan karet milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Lampung, akan dibangun pusat pemerintahan provinsi (Pemprov) Lampung, dan unsur muspida. Pembangunan kawasan baru ini sudah masuk dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Menurut Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, tahap awal akan dibangun pusat pemprov dan unsur muspida. Setelah ini selesai, baru dilakukan pembangunan perumahan dan kawasan komersial. "Sekarang akan dibangun pusat pemerintahan provinsi," kata Sjachroedin di Lampung, Ahad (27/6). Kepala Dinas Bina Marga. Barfian Tihang, mengatakan, luas lahan kota baru Lampung, yakni 1.669 ha, terdiri atas 350 ha untuk pusat pemerintahan dan 1.319 ha untuk komersial. murslin y. sd msubarfeah
Komentar:
Dalam pembangunan suatu wilayah harus diperhatikan semua aspek yang mendukung. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah dari aspek sosial, aspek ekonomi dan beberapa aspek lainnya. Pembangunan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Lampung harus memperhatikan aspek-aspek tersebut. Untuk pembangunan kawasan komersial harus melihat dari aspek sosial masyarakat sekitar. Karena aspek sosial dari masyarakat sekitar perlu diperhatikan, selain itu kita juga harus memperhatikan aspek moral seperti di bangunnya kawasan khusus tempat hiburan.
Ariga Rahmat Safitra
21040110110044

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Planologi atau Perencanaan Wilayah dan Kota adalah suatu program studi yang mempelajari tentang cara merencana suatu wilayah dan kota. Dalam merencanakan suatu kota ternyata banyak sekali yang harus di pertimbangkan oleh perencana misalnya kondisi ekonomi, sosial, budaya suatu wilayah dan yang lain-lain.
Dan kita akan membahas masalah perencanaan yang salah yaitu massalah:
PEDAGANG KAKI LIMA DI DKI JAKARTA
Keberadaan pedagang kaki lima yang kembali dipermasalahkan. Ini lantaran faprah mereka dalam mencari penghidupan dinilai sudah keterlaluan karena beroperasi secara borongan di tempat-tempat strategis di Ibukota Jakarta, tanpa mengindahkan aturan yang ada. Mereka juga menjajakan barang dagangan seenaknya, baik di trotoar-trotoar pejalan kaki maupun di badan-badan jalan tanpa memedulikan kepentingan masyarakat umum lainnya.
Sebagai contoh adalah kiprah pedagang kakilima di kawasan Terminal Pulo Gadung, Blok M, kawasan Stasiun Jatinegara, Pasar Tanah Abang, perempatan Cawang, Grogol, Glodok, Teluk Gong, Jembatan Besi, Mampang Prapatan, dan di kawasan Jabotabek. Selain mengganggu kelancaran arus lalulintas, kehadiran mereka mengganggu kenyamanan warga masyarakat Ibukota yang kebetulan lewat atau berada di daenih itu. Belum lagi, kehadiran mereka kadang terkesan mengganggu pemandangan hingga menimbulkan kesan kumuh di Ibukota.
Kita tidak boleh menutup mata,, bahwa kehadiran mereka adalah semata untuk mengais kehidupan. Di tengah situasi sulit manakala jumlah orang miskin semakin besar dan angka pengangguran meningkat, menjadi pedagang kaki Hma merupakan solusi ampuh banyak orang sehingga tetap mampu mencukupi hidup keseharian keluarga masing-masing. Oleh sebab itu, melarang-larang pedagang kaki lima berjualan sama artinya dengan mematikan penghasilan keseharian mereka.
Sebagai solusi mengatasi masalah pedagang kaki lima di Ibukota Jakarta, Pemprov DKI perlu mencarikan lahan-lahan khusus di lokasi-lokasi strategis untuk para pedagang kaki lima. Mereka harus diatur pada hari-hari atau jam-jam tertentu dan tidak boleh sembarangan beroperasi hingga ke badan jalan, yang mengganggu peruntukan bagi pejalan kaki dan lalu lintas kendaraan bermotor.
Permasalahan nya,Benarkah fenomena PKL ini sebagai wujud kurangnya lapangan kerja bagi penduduk miskin? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kemukakan konsep informalitas perkotaan (urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL yang terjadi di kawasan perkotaan.
Informalitas Perkotaan
Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen).
Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal (Maloney, 2004). Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.
Pembahasan dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.
Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004), melalui bukunya Urban Informality: Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America and South Asia, mengenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pengertian bahwa informalitas sebagai sektor yang tidak terpisah dalam struktur ekonomi masyarakat. Menurut mereka, informalitas ini adalah suatu moda urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di kawasan perkotaan.
Menurut pengamatan mereka pada kota-kota di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia, perumahan dan pasar lahan informal tidak hanya merupakan domain bagi penduduk miskin tetapi penting pula untuk penduduk kelas menengah. Demikian pula dengan sektor-sektor informal yang baru banyak berlokasi di pinggiran kota. Dapat dikatakan bahwa perkembangan kawasan perkotaan disebabkan oleh urbanisasi informal.
Pedagang Kaki lima di Perkotaan
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.
Menjawab pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini, PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.
Dominasi Sekolah Chicago dalam praktek perencanaan kota di negara-negara Dunia Ketiga termasuk di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi oleh sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal termasuk PKL adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.
Penutup
Fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi .
Yang perlu diingat, kalau lahan sudah disediakan maka tidak ada cerita lagi pemberian kompensasi tertentu kepada pam pedagang kaki lima untuk memanfaatkan lahan-lahan di lokasi-lokasi strategis secara sembarangan. Pemprov hams tegas untuk mengawasi sejak awal agar para pedagang kaki lima tidak seenaknya memanfaatkan lokasi-lokasi kosong di Ibukota.
Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Geografi Untuk SMA/MA Kelas XII Danang Endarto, Sarwono, Singgih Prihadi. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009 Diperoleh dari "http://geografi.sekolahvirtual.or.id/index.php/Pengertian_dan_Konsep_Wilayah"

Feptian Kuni Rahmawati
21040110120055

PEMDA DIMINTA DISIPLIN DALAM PENATAAN KOTA
Jakarta- Pemerintah daerah diminta lebih disiplin dalam penataan ruang dan tata kotanya. Hal ini bertujuan agar tidak menambah polemik baru jika dilakukan penataan kota, khususnya perumahan. Di banyak daerah, penataan ruang dan tata kotanya justru menambah rumit permasalahan perkotaan.
Karena pemda tidak disiplin akhirnya muncul kantong-kantong kumuh dimana-mana.Tidak cukup diareal terbuka,Dibawah jembatanpun jadi pemukiman.Anehnya lagi sarana listrik bisa masuk ke kawasan itu,’’kata Dirjen Cipta Karya Budi Yuwono dalam konpres dikantor komenpera,senin (4/10)
Akibat ketidakdisiplinan pemda itu,lanjutnya,membuat kepala daerah sering melakukan kebijakan yang tidak popular yaitu penggusuran serta relokasi. Kebijakan ini, menurut Budi, bukan langkah yang tepat lagi diberlakukan sekarang. Masih ada pendekatan persuasif yang bisa dilakukan pemda. Misalnya menyediakan perumahan layak huni di lokasi lain atas keputusan bersama.
Jadi masyarakat harus diajak membahas ini, agar tempat yang disediakan pemerintah mau ditempati. Bukannya mereka dibiarkan dan terserah mau tinggal ditempat baru atau tidak. Karena pasti mereka akan menciptakan kekumuhan di lokasi baru,”tuturnya.
Senada itu Menpera Suharso Monoarta mengatakan, sudah saatnya pemda tegas dalam penataan kotanya. Jika di areal A tidak boleh dijadikan tempat permukiman maka jangan diizinkan satu orang pun mendirikanbangunan darurat disitu.
Sekali dibiarkan, akan bertambah banyak lagi orang mendirikan bangunan liar sehingga jadilah kawasan kumu. Kalau sudah begitu, pemda lagi-lagi mengambil tindakan penggusuran,” terangnya.(esy/jpnn)
Komentar:
Pemerintah daerah kota Jakarta diminta untuk lebih tegas dalam menangi masalah kedisplinan mendirikan bangunan darurat ataupun tidak darurat di daerah yang memang benar-benar tidak diijinkan untuk didirikan daerah. Bisa dilihat di kota Jakarta banyak sekali bangunan yang benar-benar tidak layak dan terkesan dipaksakan.
Bangunan yang terkesan dipaksakan tersebut, tidak mendapatkan perhatian serius dari pemda kota Jakarta sehingga lama kelamaan bangunan yang didirikan bertambah banyak. Anehnya bangunan liar dan tidak mendapat ijin mendirikan bangunan tersebut mendapatkan fasilitas listrik. Hal ini menjadikan pola pandang terhadap pemerintah menjadi pola pandang dengan citra yang buruk, yaitu pemda kota Jakarta tidak serius dalam menangani masalah tersebut.
Bukti yang tidak nyata dari semua program-program tahunan pemerintah daerah kota Jakarta banyak yang tidak terlaksana dan terus menumpuk ditahun-tahun yang mendatang. Hal ini menjadikan pekerjaan rumah pemerintah daerah menjadi kesulitan untuk membenahi. Akhirnya membuat kepala daerah sering melakukan kebijakan yang tidak popular yaitu penggusuran dan relokasi.
Kedua kebijakan tersebut bisa saja tidak terlaksana atau tidak pernah terlaksana asalkan pemerintah daerah mau disiplin dalam hal penataan ruang kota Jakarta, pasti tidak akan terjadi pemukiman kumuh lagi.
Solusi terbaik untuk saat ini dalam membenahi kota Jakarta adalah mengurangi angka urbanisasi dan terus melakukan relokasi terhadap pemukiman kumuh. Asalkan dalam pelaksaannya tidak merugikan pihak manapun.
Sumber:
EKONOMI – PROPERTI
Senin, 09 Oktober 2010, 14:15.00

Raisya Nursyahabani
21040110141008

SBY WACANAKAN 3 OPSI PEMINDAHAN IBUKOTA
9 September 2010

JAKARTA (Pos Kota) Presiden SBY beranggapan bahwa Jakarta sudah tidak ideal menjadi Ibukota negara. Karena itu Presiden menyodorkan tiga opsi pemindahan ibukota.
"Kalau kita jujur dan berfikir jernih, Jakarta sebagai Ibukota, pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan perdagangan sudah tidak ideal lagi," kata Presiden saat menyampaikan delapan isu aktual di hadapan para pimpinan redaksi media, di Istana Negara, Rabu.
Dari segi pertumbuhan kendaraan roda dua dan empat yang mencapai 10-15% dan pertumbuhan panjang jalan yang hanya 0,01 %, kata SBY, jelas tidak sebanding. Untuk mengatasinya, tidak bisa tambal sulam. "Karena itu kita harus punya rencana strategis untuk 20, 30, 40 mendatang. Kita pikirkan 3 opsi untuk solusi Ibukota."
TIGA SOLUSI
Tiga solusi itu adalah, pertama, tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibukota dengan pembenahan semua permasalahan yang ada. Kedua, memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta namuntetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan, seperti Malaysia.
Ketiga, memindahkan Ibukota seluruhnya, dalam artian pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, seperti yang dilakukan Brasil, Belanda dan Australia.
(johara/winoto/us/o)
Komentar:
Artikel diatas menjelaskan tentang pernyataan presiden mengenai rencana pemindahan ibukota negara Indonesia. Di dalamnya terdapat opini serta 3 opsi solusi mengenai rencana pemindahan tersebut.
Opsi pertama yang dikemukakan adalah dengan mempertahankan kota Jakarta sebagai ibukota negara sembari melakukan upaya pembenahan didalamnya.
Opsi yang kedua yang disampaikan adalah dengan memindahkan pusat pemerintahannya saja tetapi tetap mempertahankan kota Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat perdagangan maupun perekonomian seperti di malaysia.
Sedangkan opsi yang ketiga adalah dengan memindahkan seluruh pusat pemerintahan dan perekonomian tanpa mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia lagi seperti yang telah dilakukan oleh negara Brazil, Belanda, dan Australia.
Menurut saya artikel tersebut sudah cukup bagus hanya saja sedikit sekali informasi yang dapat kita ambil didalamnya dikarenakan oleh jumlah halaman yang terlalu sedikit sehingga berita yang terkandung didalamnya terasa kurang mendetail dan berbobot.
Seharusnya penulis bisa menambahkan penjelasan lebih lanjut tentang dampak maupun konsekuensi yang dapat terjadi jika kita memilih salah salah satu dari ketiga opsi tersebut atau dengan menambahkan beberapa pendapat penulis tentang pernyataan presiden tersebut beserta argumen didalamnya.
Sumber:
http://www.google/safrida/blog.html, di akses 9 Oktober 2010
http://www.google/murid0ke.c0m, di akses 9 Oktober 2010

Septian Adi
21040110060001

Kota Solo Siap Jadi
Ibu Kota Provinsi Jateng
05 maret 2010
SOLO (Suara Karya) Kota Solo siap untuk dijadikan ibu kota Provinsi Jawa Tengah untuk menggantikan Semarang. Menurut Wali Kota Solo Joko Widodo, bentuk kesiapan Kota Solo untuk menjadi ibu kota provinsi tersebut antara lain berupa ketersediaan sarana dan prasarana.
"Apa yang tidak ada di Solo? Semuanya ada. Tetapi, untuk menggantikan Semarang sebagai ibu kota, semuanya ter; serah kepada keputusan politik DPRD Jawa Tengah dan Gubernur," tutur Joko Widodo kepada wartawan, Rabu (3/3).
Meski rencana tersebut saat ini baru dalam tahap wacana, tetapi pihak eksekutifdan legislatif Kota Solo menyambut positif wacana tersebut Joko Widodo juga menegaskan bahwa Kota Solo sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi ibu kota provinsi.
"Apalagi, sarana dan prasana sudah lengkap, ditambah dengan perputaran ekonomi Solo juga tidak kalah dengan Semarang," ujarnya. Wacana pemindahan ibu kota Provinsi Jawa Tengah dari Sema-. rang ke Kota Solo tersebut muncul dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) Jateng 2009-2029.
Dalam raperda tersebut terbuka peluang dilakukannya pemindahan ibu kota provinsi dari Kota Semarang. Dan Panitia Khusus (Pansus) Raperda RTRW menilai Kota Solo menjadi salah satu kota alternatif untuk menggantikan Semarang sebagai ibu kota provinsi.
Tanggapan positif juga datang dari kalangan legislatif. Ketua DPRD Kota S61o YF Su-kasno pada kesempatan berbeda mengatakan, Solo sangat mendukung untuk dijadikan ibu kota provinsi. Sementara itu. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Jawa Tengah tidak sependapat atas wacana pemindahan ibu kota Provinsi dari Semarang ke Surakarta.
Sebab, masalah perpindahan ibu kota provinsi tidak masuk dalam draf rancangan peraturan daerah (raperda) yang tengah digodok Panitia Khusus (Pansus) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) bersama eksekutif. Menurut Wakil Ketua F-PPP DPRD Jawa Tengah lstajib, fraksinya tak sependapat apabila ibu kota Provinsi Jawa Tengah di Semarang harus dipindahkan ke Surakarta. "Semarang harus dipertahankan sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah," kata lstajib di Semarang, Rabu (3/3). (EiuUni Kununututi/ Pudyo Saptono)
Komentar:
Tanggapan saya tentang artikel diatas adalah bahwa dipindahnya ibukota jateng ke solo tidak efisien,karena dengan itu maka akan menambah permasalahan tatanan kota solo,karena dengan pindahnya ibu kota ke solo,maka akan perlu dadakan pembangunan kantor pemerintah dan infrastruktur-infrastruktur lain.Letak solo yang berada di sebelah timur jawa tengah akan merugikan kota di sebelah barat jawa tengah.
Walaupun perkembangan solo sangat pesat dan kualitas infrastruktur yang relatif baik,serta kondisi geografis yang lebih baik dari semarang memang sangat menguntungkan jika ibukota jawa tengah di pindah ke solo,tapi jika di relisasikan, bukan tidak mungkin di masa mendatang keadaan solo tidak akan tertata dengan baik.
Jika mamang ini akan di realisasikan, maka hal pertama yang harus di perhatikan adalah permasalahan tata wilayah. Akan lebih baik jika dadakan perbaikan-perbaikan di semarang daripada memindah ibu kota ke solo,karena selain memerlukan biaya yang tidak sedikit,rencana ini akan menimbulkan masalah-masalah baru.

Shalli Aggi Iswari
21040110141026

Kota-Kota yang Diusulkan Jadi Ibukota
(Palangkaraya,Pontianak,atau Banjarmasin?)
Kamis,29 Juli 2010, 07:05 WIB Arfi Bambani Amri

VIVAnews – Wacana pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan berkembang di setiap masa pemerintahan. Sejak era Presiden Soekarno,Soeharto,sampai terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,wacana ini terus berkembang tanpa pernah direalisasikan.
Dalam buku berjudul ‘Soekarno & Desain Rencana Ibukota RI di Palangkaraya’ karya Wijanarka disebutkan,dua kali Bung Karno mengunjungi Palangkaraya,Kalimantan Tengah untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan.
Wacana pemindahan ibukota Indonesia ke Kota Palangkaraya juga pernah diungkapkan Presiden pertama RI Soekarno saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1957,Soekarno ingin merancang menjadi ibukota Negara.
Palangkaraya,kota yang pernah diidamkan Bung Karno sebagai ibukota memiliki luas mencapai 2.678,51 km persegi. Bandingkan dengan luas Jakarta yang hanya 661,52 km persegi. Selain itu,tak ada gunung api disana. Palangkaraya juga jauh dari potensi gempa.
Sementara Teguh Juwarno,Wakil Ketua Komisi II DPR,kepada VIVAnews menyatakan Banjarmasin,Kalimantan Selatan lebih cocok. Menurut politisi Partai Amanat Nasional itu,Banjarmasin lebih berada di tengah dan lebih siap infrastrukturnya disbanding Palangkaraya.
Namun kemarin,Rabu 28 Juli 2010,anggota Komisi II dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,Arian Bima menyatakan Pontianak sebagai pilihannya. Karena menurutnya letak Pontianak pas ditengah dan pusatnya Indonesia.
Namun Yayat Supriyatna, planolog dari Universitas Trisakti,Jakarta,tak setuju dengan model pemindahan ibukota. Yayat lebih mendukung model redistribusi. Beberapa Instansi Pemerintahan dipindahkan dari Jakarta.

Kritik :
Menurut saya,rencana pemindahan ibukota kalau memang membutuhkan biaya lebih murah daripada membenahi Jakarta,saya setuju karena selain akan terwujud ibukota yang tertata rapi juga akan terbebas dari banjir dan kemacetan lalu lintas setiap harinya. Tetapi kalau dana yang dibutuhkan sama besar lebih baik Jakarta dibenahi dan ibukota tetap berada di Jakarta. Karena seperti kita ketahui semua pusat kegiatan Negara termasuk pusat bisnis dan perusahaan berada di Jakarta,maka akan terlihat aneh jika hanya system pemerintahan yang dipindahkan sementara pusat kegiatan bisnis tetap berada di Jakarta.
Sebaiknya pemerintah harus benar-benar mengkaji ulang mengenai rencana pemindahan ibukota tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan dan merasa kecewa. Kita Negara demokrasi,jadi kita bebas memilih dan menyalurkan aspirasi. Maka dari itu pemerintah pun harus mendengar aspirasi masyarakat.

Yudha Rahman
21040110141059

CRITICAL REVIEW TENTANG PERMASALAHAN KOTA PADANG

Padang Kota Tua yang Sarat Masalah
Kompas: 5-8-2009
SUMBER :http://eriandi.wordpress.com/2007/12/30/wajah-kota-padang-buram-namun-berprestasi/
KETENARAN Padang merambah ke mana-mana, berkat "rumah makan Padang" dan "orang Padang". Akan tetapi, jangan keliru, sebutan itu tak menjurus ke Kota Padang yang sesungguhnya. Itu hanya kebiasaan orang lain memandang perantau asal Minang sebagai "orang Padang", dan rumah makan yang menyajikan menu khas Minang dari berbagai daerah di Sumatera Barat (Sumbar) sebagai "rumah makan Padang".
Kalau kurang yakin, tanyalah perantau yang "orang Padang" itu, ia akan menyebut daerah asalnya, seperti Koto Gadang, Sulit Air, Kacang, Padang Pariaman, Sawahlunto, Sianok, Banuhampu-Sungaipuar, dan Maninjau. Padang sendiri sebenarnya kota rantau, sekitar 60 persen penduduknya berasal dari orang (perantau) asal Padang Pariaman, sekitar 20 persen dari Solok, dan sisanya dari daerah lain, termasuk etnik Nias, Keling, Cina, dan Jawa.
Soal masakan, sate yang terkenal bukan sate Padang, tetapi sate yang dibuat perantau Padang Pariaman atau Bukittinggi. Begitu juga, resep makanan, terkenal dengan masakan kapau dan atau masakan kubang. Masakan khas Padang, sebegitu jauh belum dikenal, walaupun hasil akulturasi berbagai budaya orang yang mendiami kota yang berusia 333 tahun pada 7 Agustus 2002.
***
Memang, kalau menyoal Kota Padang yang sesungguhnya, banyak orang tak menduga kota yang berjuluk Padang Kota Bingkuang dan Padang Kota Tercinta ini seperti tak ada apa-apanya. Cermatilah pembangunan fisik kota atau pembangunan mental-spiritual dan sosial ekonomi masyarakat, mungkin akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa pembangunan Kota Padang baru sebatas program. Kalaupun terlihat, masih terpusat pada satu titik fokus, yaitu pusat kota.
Bahkan, Ketua DPRD Kota Padang Maigus Nasir mengatakan, rencana umum tata ruang Kota Padang belum sesuai dengan pelaksanaan pembangunan itu. "Masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran kota sampai sekarang masih terpinggirkan. Akibatnya, seluruh persoalan kota menumpuk pada satu titik," ujarnya.
Sementara, Wali Kota Padang Zuiyen Rais, dalam paparannya pada Rapat Koordinasi Pembangunan Sumatera Barat baru-baru ini, mengakui terus terang, kemampuan Pemerintah Kota Padang dalam pengelolaan pembangunan masih lemah. Pembangunan yang dilaksanakan berkisar di pusat kota karena kurangnya prasarana ke daerah pengembangan (pinggir kota). Pembangunan itu pun menimbulkan persoalan yang tak kunjung selesai, seperti pembangunan Terminal Bingkuang di Aiapacah.
Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya sumber daya aparatur, kurangnya kemampuan dan wawasan dalam pelaksanaan tugas, serta dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat masih menggunakan paradigma lama.
Makanya, jangan heran penyakit masyarakat (judi, prostitusi, kriminal dalam segala bentuk, penyalahgunaan wewenang/korupsi) sebagai akibat masih lemahnya kondisi sosial masyarakat dan keterpurukan ekonomi semakin meningkat.
Itu baru satu dari bejibun masalah yang dihadapi Kota Padang. Seperti, katanya pernah beberapa kali dapat penghargaan adipura, sampah dan kekumuhan kota tak terurus. Katanya, Padang akan menjadi kota marina, nyatanya sungai (batang) Arau tak terperhatikan. Pencemaran sungai dengan limbah B3, limbah domestik, pendangkalan dan sebagainya tidak menjadi prioritas untuk membenahinya. Bahkan, kawasan Kota Tua-dengan bangunan tua dan bersejarah-yang diandalkan menjadi faktor pendukung, kini pun luluh-lantak dan berganti menjadi bangunan bercitra modern.
Kalau dirinci dan dirunut satu per satu akan panjang ceritanya.
Terlepas dari persoalan wali kota, kota yang memiliki pantai 84 km, dialiri lima sungai besar dan 16 sungai kecil, 463,63 km persegi daerah perbukitan, memiliki potensi guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Saat ini, sekitar 140.000 warga Kota Padang hidup dalam garis kemiskinan, rawan penyakit, gizi buruk, dan busung lapar.
Menurut Ketua DPRD Kota Padang Maigus Nasir, sebagaimana dikutip Solid edisi 19/ Tahun II, ada tiga potensi yang dapat dikembangkan di kota dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27 persen ini. "Ada potensi besar di bidang industri pariwisata, perdagangan, dan kelautan. Sampai sekarang belum dikelola secara proporsional dan profesional. Kita belum memiliki konsep jelas dengan sistem dan manajemen yang jelas pula," ujarnya.
Kalau dicermati, Kota Padang meski memiliki banyak obyek wisata alam, sejarah, seni-budaya, dan wisata makanan/belanja, belum menjadi tujuan utama, kecuali daerah transit. Sejak Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dipegang tokoh muda Ir Indra Catri MSP, terasa geliat pariwisata di Padang. Untuk menghidupkan suasana malam, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Padang digelar kesenian randai dan seni tradisional Minang lainnya di Pantai Padang, setiap malam minggu.
"Dengan anggaran amat terbatas, kita mencoba membenahi sarana dan prasana yang ada, di samping membina kelompok kesenian tradisi. Ke depan, pembangunan pariwisata harus mendapat prioritas karena memberikan imbasan positif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata Indra Catri, yang kini disebut-sebut calon kuat Wali Kota Padang menggantikan Zuiyen Rais. (YURNALDI)
PENDAPAT, KRITIK, DAN PANDANGAN MENURUT SAYA
Menurut saya pembangunan kota Padang saat ini memang belum lancar dan belum sesuai harapan karena ada nya beberapa faktor. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya sumber daya aparatur, kurangnya kemampuan dan wawasan dalam pelaksanaan tugas, serta dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat masih menggunakan paradigma lama.
Faktor lainnya adalah berupa faktor ekonomi, ke aktifan walikota dan lain sebagainya. Tapi setidak nya untuk saat ini meskipun pdang belum menjadi kota besar seperti Medan, tapi setidaknya Padang telah dikenal banyak oleh wilayah Indonesia sebagai kota yang memiliki karakteristik yang kuat. Misalnya dari segi garis keturunan yang matrilineal, masakan khas Padang, dan potensi pariwisata yang dimiliki. Program yang dimaksud sebatas angan pada artikel di atas sebenarnya tergantung pada pemerintah kota dalam melaksanakan program yang telah direncanakan. Pembungunan ruang tata kota Padang saya pikir memang lah sangat lambat. Semua tergantung ahli tata kota dan kerjasama pemerintah dalam menaggulangi masalah ini.
Pemabungunan kota Padang menuju kta yang bersih, menurut saya sekarang sudah berhasil 80 % dengan moto “WUJUDKAN PADANG KOTA TERCINTA BEBAS SAMPAH”. Menurut pengamatan saya, meskipun masih berjalan lambat dan tersendat-sendat, pembangunan kota Padang saat ini sudah mulai bangkit. Apalagi pasca gempa sekarang pemerintah kota Padang lagi giat-giatnya membangun dan menata kembali kota Padang untuk lebih baik lagi. Sebagai seorang Planner, saya berpendapat program pembangunan ini harus bisa semaksimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki kota Padang, karena jika semua potensi itu bisa dikembangkan dan dikelola dengan baik, semua akan mendatangkan income untuk kita Padang dan bisa membangun lebih baik.
Kalau dibilang kota Padang sebagai kota tua yang sarat masalah, semua dalam kehidupan ini pasti ada masalah, termasuk pembangunan kota dan saya rasa ini tidak hanya di alami kota Padang tapi juga kota lain di Indonesia, jadi dengan adanya masalah ini seharusnya walikota dan pemerintahan menjalankan program yang direncanakan dengan sepenuh hati.
Sumber:
Yurnaldi. Kota Tua yang Sarat Masalah. 5 Agustus 2009. 15 Agustus 2009,
http://eriandi.wordpress.com/2007/12/30/wajah-kota-padang-buram-namun-berprestasi/

Problematika Pemekaran Daerah : Teori Telur Dadar

Tahun 2010 adalah tahun bersejarah bagi 26 daerah pemekaran baru karena telah memperoleh dana perimbangan yang dihitung secara mandiri. Umumnya daerah pemekaran pada tahun kedua mendapatkan dana perimbangan yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Ini tentu kebahagiaan bagi daerah pemekaran baru. Namun tidak demikian pada daerah induknya dan daerah lain yang telah lebih dahulu ada. Pada tahun pertama daerah induk merasa sangat sakit karena harus berbagi dana perimbangan dengan daerah pemekarannya, pada tahun kedua baru daerah lainnya medrasa sakit karena kesempatan untuk mendapatkan kenaikan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi tidak optimal.
Ide untuk menggunakan telur dadar sebagai teori pembagian DAU bagi daerah induk dan daerah pemekarannya tentunya sangat relevan. Satu telur dadar yang dibagi 4 orang akan terlihat masing-masing orang mendapatkan 1/4 bagian. Pada saat satu orang mempunyai anak maka ia harus berbagi l/4 bagian tersebut menjadi 1/8 bagian setiap orang. Dengan demikian telur dadar tersebut akan dibagi lima : 1/4, 1/4, 1/4, 1/8 dan 1/8 bagian. Pembagian ini tidak mempengaruhi daerah lain yang tidak mekar. Pada tahun kedua, induk dan anak hasil pemekaran tadi masing-masing mempunyai hak yang sama dengan daerah lain yang tidak mekar, yaitu sebagai daerah otonom berdasarkan undang-undang pembentukannya. Hal ini akan berpengaruh pada pembagian satu telur dadar tersebut, yaitu masing-masing menjadi 1/5 bagian. Dari sini terlihat, daerah lama bukan yang mekar akan mengalami penurunan porsi penerimaan dari 1/4 menjadi 1/5, sedangkan daerah yang mekar mengalami peningkatan dari 1/8 menjadi 1/5.
Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bahwa pada tahun pertama pemekaran suatu daerah, daerah induk sepertinya terpukul dua kali, pertama, DAU-nya turun cukup signifikan, dan kedua, harus memberikan sumbangan (menyusui) daerah baru sebesar yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukannya (umumnya Rp 5 miliar setahun) sampai waktu tertentu (umumnya 3 tahun). Itulah sebabnya banyak undang-undang daerah pemekaran yang tidak dipatuhi khususnya oleh daerah induk. Lain halnya apabila daerah baru hasil pemekaran tersebut adalah kota. Permasalahannya tidak sekedar dana perimbangan yang turun, melainkan juga (bagi daerah induk) masalah pemindahan ibu kota, dan (bagi kota hasil pemekaran) adalah masalah jumlah PNSD/Gaji PNSD. Permasalah kota terkait dengan jumlah pegawai yang cukup banyak karena pada umumnya PNSD tidak bersedia pindah ke kabupaten induk, sementara itu kabupaten induk akan menganggat PNSD baru, yang akan berdampak secara nasional.
Bagaimana masa dan pendanaan daerah pemekaran perlu pengkajian secara khusus. 26 daerah pemekaran yang untuk pertaman kalinya mendapatkan dana perimbangan dengan perhitungan secara mandiri memiliki sejarah dan latar belakang pembentukan yang berbeda-beda. Apakah peraturan mengenai penggabungan daerah/moratorium, dan penghapusan daerah bisa operasional?. Apakah Pemerintah Pusat pernah berhasil penahan suatu daerah utnuk mekar?. Apakah inisiatif pemekaran harus datang atau mendapatkan restu Pemerintah Pusat?. Inilah sebagain dari seabreg masalah yang harus dijawab.

Kritik:

Kalo ngomongin masalah dana pasti jadi panas, seperti halnya dana pemekaran kali ini yang dalam pembagian dana tidak merata. Masalah ini menyebabkan kesenjangan social dan menunjukan betapa buruknya kinerja para pemimpin kita. Kurang adilnya pembagian ini menyebabkan daerah pemekaran yang dananya disunat akan semakin tertinggal. Keadan seperti tu lama-lama akan berpengaruh juga sama pertumbuhan ekonomi nasional. Butuh kejujuran yang besar untuk mengungkap masalah terutama dibadan pemerintahan tu sendiri. Perlunya badan untuk mengawasi kinerja mereka.



PAPER PERMASALAHAN KOTA PADANG


PERMASALAHAN
Kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan dalam hal ini menyangkut aspek-aspek : politik, sosial budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik rusng kota itu sendiri. Perkembangan fisik kota dapat diindikasikan secara kasat mata melalui penggunaan lahan. Oleh karena itu eksistensi kota dapat ditinjau paling sedikitnya dari dua matra yaitu : matra “settlement morphology” dan matra “legal articulation”. Kedua matra ini saling berkaitan langsung dan berimplikasi pada bentuk wujud dan karakteristik kota.
Daerah terbangun kota (urban built up areas) merupakan garis yang jelas untuk mengamati bagaimana percepatan perembetan kota ke arah luar. Di luar built up areas terdapat zona-zona pinggiran(fringe zone) yang pada saatnya akan merupakan lokasi baru bagi pengembangan fungsi- fungsi perkotaan terutama fungsi permukiman. Kondisi seperti ini juga dialami atau terjadi di Kota Padang.
Ada dua penyebab perkembangan kota ke arah luar atau pinggiran yaitu:
1). Karena tekanan harga lahan dan kepadatan di pusat kota, serta
2). Faktor-faktor eksternal diluar sistem perencanaan
Dengan laju pertambahan penduduk yang pesat akibat industrialisasi yang terpusat di perkotaan yang menjanjikan fatamorgana kehidupan yang lebih baik, membuat kota-kota besar di Indonesia semakin tak layak untuk ditinggali.
Permasalahan yang terjadi karena pemadatan penduduk beraneka ragam. Dimulai dari masalah fisik sampai masalah sosial. Masalah fisik yang terjadi contohnya seperti munculnya permukiman kumuh, pencemaran udara, sulitnya air bersih, menumpuknya sampah, kemacetan yang terjadi hampir setiap detik, dan segudang permasalahan lainnya. Masalah sosial yang muncul tidak kalah peliknya dengan masalah fisik. Deviasi yang terlalu besar dari masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan, status sosial, kekayaan, dll menimbulkan permasalahan seperti pengangguran, kriminalitas, segregasi sosial, dan masalah lainnya yang diakibatkan ketimpangan yang ada.
Perkembangan kota-kota yang semakin tak teratur pun terjadi bukan hanya semata-mata karena pertumbuhan populasi yang besar. Kecenderungan angka urbanisasi lebih besar dari angka reurbanisasi. Dengan kata lain, orang lebih senang melakukan migrasi ke kota daripada ke luar kota. Mungkin hal ini muncul karena adanya pandangan bahwa kota dapat menyediakan kehidupan yang lebih baik dari pada tinggal di pedesaan. Memang semua fasilitas kehidupan tersedia di kota.
Perkampungan kumuh dan pencemaran lingkungan adalah salah satu bukti wujud ketidakberesan pengelolaan negara dan buruknya tata krama sosial secara massal. Dengan harapan menjalani kehidupan yang lebih baik, tinggal di kota besar malah membawa ketidaknyamanan dan ketidakamanan hidup dari waktu ke waktu. Laju pembangunan yang menjanjikan kesejahteraan harus dibayar mahal dengan penurunan kualitas hidup manusia dan penurunan kualitas daya dukung lingkungan hidup. Maka menjadi sebuah kemubaziran, karena pengeluaran ekonomi untuk memenuhi standar kehidupan yang sehat hampir menyamai penghasilan dari jerih payah meningkatkan laju pembangunan, malah bisa melebihinya
Selain itu juga terdapat masalah mengenai lalu lintas. Pemanfaatan trotoar yang hanya untuk pejalan kaki. Trotoar selama ini hanya dianggap sebagai aksesoris pelengkap jalan raya bagi kenderaan bermotor. Fokus pembangunan kota masih kurang memperhatikan kepentingan manusiawi bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Jika mengamati perlalulintasan kota Padang, banyak trotoar jalan saat ini yang fungsi awalnya untuk pejalan kaki. Tapi kenyataan di lapangan, trotoar jadi tempat parkir papan reklame yang notabene hampir menutup jalur trotoar.

SOLUSI
Penanganan lingkungan permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, Pelaku dunia usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak disiapkan penanggulanganya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh akan menjadi masalah ketidakmampuan kota dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi dan politik (Sri.P, 1988).
Upaya untuk membangun permukiman yang mampu mengakomodasikan semua keluarga dengan lingkungan yang nyaman, dengan ruang terbuka yang memadai baik untuk olah raga maupun untuk taman lingkungan maka jalan satu-satunya adalah membangun rumah susun (Yunus, 2005). Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman didaerah.
Pengembangan perumahan dan permukiman diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan pemberdayaan masyarakat dan kehidupan yang sehat dan sejahtera, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta meningkatkan sarana interaksi sosial untuk mengembangkan norma dan nilai budaya yang sehat dan mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman (Kan. ar, 1997).
Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat/ keterlibatan masyarakat (Community Participation) merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi, hal ini penting agar supaya kaidah pembangunan perumahan yang telah ditetapkan dapat diindahkan oleh masyarakat umum dan pola partisipasi masyarakat perlu dikembangkan sesuai dengan budaya yang berlaku di wilayah setempat (Sri.P,1988).
Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kewajaran didalam proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat, misalnya penguasaan terhadap substansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat yang didampingi.
Maka dapat disimpulkan secara ringkas Penataan Wilayah untuk Pengananan Masalah Permukiman Kumuh tersebut adalah:
  1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan
  2. Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha
  3. Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan
  4. Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan pemukiman kumuh
  5. Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial.
  6. Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman .
Akhirnya, apabila upaya penataan permukiman kumuh dapat dilaksanakan maka hasil yang dapat diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan baru, meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari penduduk yang tersedia, meningkatkan kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat meningkatnya hasrat penduduk untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat meningkatkan nilai tanah yang ada.








DAFTAR PUSTAKA
Esmara, Hendra. 1975. Kesenjangan Pendapatan Daerah, Padang: Universitas Andalas
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Devolopment Programme, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan
Koestoer. RH, 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori dan Kasus, UI-Press.
Sri. P, 1988. Permukiman Kumuh; Pertimbangan Pengusiran Atau Perbaikan. Jakarta. : Kongres Ikatan Peminat Dan Ahli Demografi Indonesia IV
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


















LAMPIRAN